Oleh Arief Anshory Yusuf
(Sumber: Pikiran Rakyat, 31 Mei 2008. Versi web tidak lagi tersedia)
Keadilan adalah konsep yang subjektif. Adil buat seseorang belum tentu adil buat orang lain. Adil di mata sekelompok orang atau golongan, belum tentu adil di mata kelompok lain. Para ekonom aliran arus utama umumnya sering menghindar bersentuhan dengan konsep keadilan, karena sifatnya yang susah diukur dan subjektif.
Keadilan ekonomi (equity) yang merupakan bagian dari keadilan secara umum (justice) biasanya diukur dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat menunjukkan apakah suatu masyarakat itu "timpang" (dalam artian kesenjangan antara si kaya dan si miskin itu sangat tinggi), ataukah "merata" (tidak terjadi kesenjangan yang berarti).
Ketika para ekonom harus "turun gunung" dari berbagai exercise teoretisnya dan terjun ke dalam realitas pengambilan kebijakan, mau tidak mau mereka akan bersentuhan dengan aspek keadilan. Suatu kebijakan yang dirumuskan seorang ekonom, jika menurut sebagian besar orang "tidak adil", bukan hanya akan dicaci oleh mereka yang dirugikan, tetapi juga akan menghambat implementasinya.
Pelajaran penting dari mengaplikasikan teori ekonomi dalam proses formulasi kebijakan adalah bahwa dalam realitas dunia nyata yang kompleks, aspek keadilan suatu kebijakan tidak bisa diabaikan. Para ekonom yang enggan bersentuhan dengan konsep keadilan, hanya punya dua pilihan: kembali ke menara gading exercise teoretis atau melatih diri bergelut dengan analisis-analisis dampak distribusi pendapatan, suka atau tidak.
Subsidi BBM adalah contoh suatu kebijakan ekonomi yang banyak disebut tidak adil. Disebutkan misalnya bahwa pemilik mobil pribadi rata-rata disubsidi 1,2 juta per bulan, sangat tidak sebanding dengan subsidi yang dinikmati oleh masyarakat yang tidak punya kendaraan bermotor. Karena golongan kaya menikmati jauh lebih banyak subsidi BBM, maka subsidi BBM disebut sebagai kebijakan yang tidak adil.
Bank Dunia, dalam laporan rutin ekonomi Indonesia bulan April 2008, mengalkulasi bahwa 45% dari Rp 130 triliun subsidi BBM dinikmati oleh kelompok 10% terkaya, sementara kelompok 10% termiskin hanya menikmati sekitar 1% saja. Semakin kaya, semakin besar porsi subsidi yang dinikmatinya, semakin miskin semakin sedikit. Subsidi BBM lagi-lagi disebut sebagai kebijakan yang tidak adil. Dengan demikian, kebijakan yang adil justru adalah sebaliknya, mengurangi atau bahkan menghapus subsidi BBM.
Alur logika di atas sah-sah saja karena seperti dibahas di awal tulisan ini, konsep keadilan adalah konsep yang subjektif. Alur berpikir tersebut, akan tetapi, layak untuk dikritisi karena mengandung beberapa kelemahan mendasar dan konseptual, tetapi kerap disuarakan oleh pemerintah maupun para pengamat yang mendukung kebijakan penghapusan subsidi BBM.
Walaupun keadilan sifatnya subjektif, dalam ilmu ekonomi atau cabang ilmu ekonomi sektor publik, ada pendekatan arus utama (atau "pakem"-nya) dalam mengevaluasi adil tidaknya suatu kebijakan. Suatu kebijakan disebut adil (atau dalam bahasa ekonomi disebut "progresif"), kalau dampaknya cenderung mengurangi ketimpangan. Sebaliknya, kebijakan disebut tidak adil kalau cenderung menambah ketimpangan. Kebijakan yang tidak mengubah ketimpangan disebut sebagai kebijakan yang proporsional. Cara menentukannya sederhana.
Sebagai contoh, pajak pendapatan disebut progresif (adil) kalau orang kaya persentase pendapatan kena pajaknya lebih tinggi dari orang miskin. Misalkan orang kaya dibebani pajak 35%, sementara orang miskin 5% dari pendapatannya. Pajak seperti ini akan mengurangi ketimpangan. Kalau orang kaya dipajak sama besar dengan orang miskin (misal 10%), maka pajak seperti ini disebut proporsional karena ketimpangan pendapatan tidak akan berubah. Intinya, semuanya relatif terhadap ukuran kesejahteraan awalnya, yang dalam hal ini diukur dari pendapatannya.
Pendekatan ini justru malah tidak banyak dikemukakan dalam debat publik subsidi BBM. Seringnya orang hanya melihat proporsi dari nilai nominal subsidi tersebut jatuh ke tangan siapa. Kalau kita mengadopsi logika berpikir serupa, kita akan cenderung memvonis, hampir semua kebijakan subsidi terhadap barang-barang apa pun (bukan hanya BBM) sebagai kebijakan yang tidak adil. Subsidi terhadap sepatu, sikat gigi, odol dan lain sebagainya, akan cenderung dinikmati oleh golongan kaya karena memang kelompok miskin mengonsumsi barang tersebut jauh lebih sedikit. Cara berpikir seperti ini kurang fair dan cenderung menyederhanakan permasalahan. Dalam analisis kebijakan sektor publik seharusnya basisnya adalah relatif terhadap kesejahteraan awalnya.
Kalau menggunakan pendekatan ini, adilkah subsidi BBM? Data survei konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa kelompok masyarakat 10% terkaya membelanjakan 27% dari total pengeluarannya untuk membeli bensin, sementara 10% termiskin hanya membelanjakan 1%. Dengan demikian, subsidi untuk bensin selama ini memang tidak adil. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bensin dengan menaikkan harga bensin sebesar 33% boleh dibilang kebijakan yang sifatnya progresif, cenderung mengurangi ketimpangan. Kebijakan ini kebijakan yang "adil".
Akan tetapi, ceritanya menjadi lain kalau menyangkut minyak tanah. Data memang menunjukkan subsidi minyak tanah sebagian besar dinikmati golongan kaya. Kelompok 10% terkaya menikmati 9%, sementara kelompok 10% termiskin menikmati 5% dari total nilai subsidi minyak tanah. Akan tetapi, tidak serta-merta mengurangi subsidi BBM sifatnya progresif (adil). Relatif terhadap total belanjanya, kelompok 10% termiskin membelanjakan 22% dari total pengeluarannya untuk membeli minyak tanah, sementara kelompok 10% terkaya hanya 6%.
Berdasarkan kriteria ini, kebijakan mengurangi subsidi minyak tanah atau menaikkan harga minyak tanah dengan demikian sifatnya regresif, akan cenderung menambah ketimpangan. Kebijakan ini tidak adil. Berbagai analisis evaluasi kebijakan pemerintah bulan Oktober tahun 2005 yang menaikkan harga minyak tanah hampir tiga kali lipat, menjadikan kebijakan tersebut (walaupun sudah ditambah kompensasi BLT) cenderung menambah ketimpangan di perkotaan, dan tidak cukup mengompensasi kelompok miskin kota.
Jadi, adilkah subsidi BBM? Adilkah kebijakan pemerintah pada Jumat malam kemarin yang menaikkan harga BBM rata-rata 28%? Kita harus hati-hati menjawabnya. Kelengkapan jawaban harus memperhitungkan berbagai faktor lain. Yang pertama, dampak berantai dari kenaikan harga BBM ini. Walaupun pengaruh kenaikan harga BBM-nya sendiri lebih dirasakan golongan kaya, tetapi harga-harga barang lain yang banyak dikonsumsi orang miskin (misalnya makanan dan transportasi publik) naik juga secara berarti, kebijakan menaikkan harga BBM akan cenderung tidak adil karena cenderung menambah ketimpangan.
Faktor kedua adalah kompensasi BLT. Jika distribusi BLT efektif dan besarannya cukup untuk mengompensasi berkurangnya kesejahteraan orang miskin, paket kebijakan menaikkan harga BBM akan bersifat progresif, cenderung mengurangi ketimpangan (adil).
Dengan demikian, jawaban pertanyaan apakah subsidi BBM itu adil, atau adilkah kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini belum bisa ditentukan hitam di atas putih. Biar waktu dan analisis yang lebih komprehensif menjawabnya. Yang pasti, mari kita berharap pemerintah memang melakukan kalkulasi yang hati-hati dan bijaksana.***
Penulis, dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Bandung.